BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan
memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Sebagai makhluk individu manusia memiliki satu pribadi yang berbeda dengan
manusia yang lain. Setiap manusia memiliki identitas dan karakteristik sendiri,
sementara itu sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan
orang lain. Hal ini pun ditegaskan oleh seorang ahli filsuf Yunani yang bernama
Aristoteles. Menurutnya manusia adalah zoon politicon. Hal ini berarti manusia
merupakan makhluk sosial atau homo socialis yang memiliki keinginan untuk
bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Dengan demikian, manusia
ditakdirkan untuk hidup bermasyarakat sehingga tanpa kehadiran orang lain,
individu tersebut seolah-olah tidak mempunyai arti.
Sebagai makhluk sosial, manusia akan senantiasa
menjalin hubungan dengan sesamanya untuk mencapai kebutuhan hidup. Misalnya
untuk mendapat baju yang indah, seorang individu membutuhkan keahlian seorang
penjahit. Untuk mendapatkan sepotong buah yang segar, individu membutuhkan
penjual buah. Untuk mendapatkan beras, individu membutuhkan petani. Masih
banyak sekali contoh yang lainnya. Di sini terlihat bahwa tanpa keberadaan
orang lain manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Sebagai makhluk sosial, manusia sering
memperlihatkan sifat-sifat yang paradoks di masyarakat. Uraian mengenai
paradoks manusia menggambarkan manusia sebagai individu dan manusia sebagai
anggota masyarakat memberikan pengaruh pada perkembangan diri individu. Melalui
konsep mentalitas kita dapat melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap
mentalitas yang dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu mentalitas
masyarakat desa dan mentalitas masyarakat kota. Mentalitas manusia Indonesia dipengaruhi
oleh lingkungan sosial disekitarnya serta status dan peran yang disandangnya
Fakta sejarah bahwa Indonesia pernah dijajah
memberikan dampak gejolak sosial dan politik yang mempengaruhi mentalitas
masyarakat Indonesia kala itu. Oleh karena itu, untuk menghadapi arus
globalisasi dibutuhkan beberapa modifikasi terhadap mentalitas manusia
Indonesia yang sudah tertanam cukup lama agar manusia dan masyarakat Indonesia
dapat mengatasi segala tantangan dan persaingan di dunia internasional
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan perumusan masalah
sebagai berikut :
1.
Seberapa
besar pengaruh paradoks manusia terhadap perkembangan individu dilihat dari
mentalitas manusia Indonesia ?
2.
Apakah
mentalitas masyarakat kota dan desa dimiliki sejak lahir atau dibentuk oleh
masyarakat ?
3.
Apakah
status dan peran mempengaruhi pembentukan mentalitas masyarakat kota dan desa ?
4.
Jelaskan
kondisi sosial budaya maupun politik yang memberi pengaruh pada terbentuknya
mentalitas masyarakat kota dan desa ?
5.
Apa
yang harus dilakukan terhadap mentalitas masyarakat kota dan desa agar menjadi
kekuatan bagi manusia dan masyarakat Indonesia dalam mengahadapi persaingan di
dunia internasional ?
BAB 2
ISI
2.1 Keranagka Teori
Manusia Sebagai Mahluk Individu
Dalam bahasa Latin individu
berasal dari kata individuum, artinya yang tak terbagi. Dalam bahasa Inggris
individu berasal dari kata in dan divided. Kata in salah satunya mengandung
pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi individu artinya
tidak terbagi, atau suatu kesatuan.
Manusia sebagai makhluk
individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga
dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur
tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut tidak menyatu lagi maka
seseorang tidak disebut lagi sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur
jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga
dan jiwanya.
Bila seseorang hanya tinggal
raga, fisik, atau jasmaninya saja, maka tidak dikatakan sebagai individu. Jadi
pengertian manusia sebagai makhluk individu mengandung arti bahwa unsur yang
ada dalam diri individu tidak terbagi, merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Jadi sebutan individu hanya tepat bagi manusia yang memiliki
keutuhan jasmani dan rohaninya, keutuhan fisik dan psikisnya, keutuhan raga dan
jiwanya.
Setiap manusia memiliki
keunikan atau ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama,
ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Sekalipun orang itu
terlahir secara kembar, mereka tidak ada yang memiliki ciri fisik dan psikis
yang persis sama.
Walaupun secara umum manusia itu memiliki perangkat fisik yang sama, tetapi
kalau perhatian kita tujukan pada hal yang lebih detail, maka akan terdapat
perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu terletak pada bentuk, ukuran, sifat, dan
lain-lainnya. Contohnya: si Sule berbeda dengan si Ajis Gagap, karena di antara
keduanya berbeda secara fisik, si Sule berambut panjang dan kurus, sedangkan si
Ajis Gagap berambut pendek dan agak gemuk. Begitu pula dalam kumpulan atau
kerumunan ribuan orang atau jutaan manusia, kita tetap dapat mengenali
seseorang yang sudah kita kenal karena memiliki ciri fisik yang sudah kita
kenal. Sebaliknya bila hal ini terjadi pada kerumunan atau kumpulan hewan atau
binatang, sulit bagi kita untuk mengenali satu hewan di tengah ribuan hewan
yang sejenis.
Ciri seorang individu tidak
hanya mudah dikenali lewat ciri fisik atau biologisnya. Sifat, karakter,
perangai, atau gaya dan selera orang juga berbeda-beda. Lewat ciri-ciri fisik
seseorang pertama kali mudah dikenali. Ada orang yang gemuk, kurus, atau
langsing, ada yang kulitnya cokelat, hitam, atau putih, ada yang rambutnya
lurus dan ikal. Dilihat dari sifat, perangai atau karakternya, ada orang yang
periang, sabar, cerewet, atau lainnya.
Seorang individu adalah perpaduan antara:
-
Faktor
genotipe (faktor yg dibawa sejak lahir, faktor keturunan). Kalau seseorang
individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia
juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor
lingkungan (faktor fenotipe).
-
Faktor
fenotipe (lingkungan) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas
dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan
sosial. Lingkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial,
merujuk pada lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial.
Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan
kelompok sosial yang lebih besar.
Karakteristik yang khas dari
seseorang ini sering kita sebut dengan kepribadian. Menurut Nursyid
Sumaatmadja, kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan
hasil interaksi antara potensi-potensi biopsikofisikal (fisik dan psikis) yang
terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada
tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat
rangsangan dari lingkungan.
Setiap orang memiliki
kepribadian yang membedakan dirinya dengan yang lain. Kepribadian seseorang itu
dipengaruhi faktor bawaan (genotipe) dan faktor lingkungan (fenotipe) yang
saling berinteraksi terus-menerus.
Selain individu, kelompok
sosial yang lebih besar, seperti keluarga, tetangga, dan masyarakat, memiliki
ciri/karakter/kebiasaan yang berbeda-beda pula. Keluarga yang terbiasa dengan
suasana yang demokratis dan religius, misalnya, berbeda dengan keluarga yang
suasananya otoriter dan kurang religius. Begitu pula lingkungan tetangga yang
familiar dan gotong royong, berbeda dengan yang kurang akrab dan individualis.
Perkembangan Individu
Sejak lahir sampai pada akhir hayatnya, manusia hidup ditengah-tengah
kelompok sosial atau kesatuan sosial juga dalam situasi sosial yang merupakan
bagian dari ruang lingkup suatu kelompok sosial. Kelompok sosial yang merupakan
awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Dalam keluarga ada rasa saling
tergantung diantara sesama manusia yang membentuk individu berkembang untuk
beradaptasi dengan kehidupan dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa manusia
sebagai individu tidak mampu hidup sendiri, tetapi diperlukan keberadaan dalam
suatu kelompok (masyarakat) sehingga individu merupakan makhluk sosial. Ini
berarti antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan
hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan fungsional.
Pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak
terjadi dalam waktu sekejap, melainkan terentang sebagai kesinambungan
perkembangan sejak masa janin, bayi, anak , remaja, dewasa sampai tua. Istilah
pertumbuhan lebih tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan
perkembangan tertuju pada segi mental psikologis individu.
Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Mengenai
hal tersebut ada tiga pandangan, yaitu:
-
Pandangan
nativistik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata ditentukan atas
dasar faktor dari dalam individu sendiri, seperti bakat dan potensi, termasuk
pula hubungan atau kemiripan dengan orang tuanya. Misalnya, jika ayahnya
seniman maka sang anak akan menjadi seniman pula.
-
Pandangan
empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata didasarkan atas faktor
lingkungan. Lingkunganlah yang akan menentukan pertumbuhan seseorang. Pandangan
ini bertolak belakang dengan pandangan nativistik.
-
Pandangan
konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu dipengaruhi oleh faktor
diri individu dan lingkungan. Bakat anak merupakan potensi yang harus
disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh
secara optimal. Pandangan ini berupaya menggabungkan kedua pandangan
sebelumnya.
Pada dasarnya, kegiatan atau aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi
kepentingan diri dan kebutuhan diri. Sebagai makhluk dengan kesatuan jiwa dan
raga, maka aktivitas individu adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan
jiwa, rohani, atau psikologis, serta kebutuhan jasmani atau biologis. Pemenuhan
kebutuhan tersebut adalah dalam rangka menjalani kebutuhannya.
Pandangan yang mengembangkan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya adalah
individu yang bebas dan merdeka adalah paham individualisme. Paham
individualisme menekankan kekhususan, martabat, hak, dan kebebasan orang
perorang. Manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka tidak terikat apapun
dengan masyarakat ataupun negara. Manusia bisa berkembang dan sejahtera
hidupnya serta berlanjut apabila dapat bekerja secara bebas dan berbuat apa
saja untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa hidup dengan
manusia lain (masyarakatnya). Ia tidak dapat merealisasikan potensi hanya
dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain untuk hal
tersebut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat,
selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat
dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia
selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina
sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu
dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan
dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga
tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Ketika manusia sebagai makhluk individu ternyata tidak mampu hidup sendiri.
Manusia berbeda dengan hewan, manusia diberikan akal, sedangkan hewan di
berikan insting untuk mempertahankan hidupnya. Insting yang di miliki manusia
sangat terbatas, misalnya ketika bayi lahir ia hanya diberi insting untuk
menangis, ketika lapar ia menangis, ketika pipis pun ia menangis. Untuk bisa
berjalan manusia membutuhkan manusia lain. Sedangkan pada hewan, misalnya
jerapah, beberapa menit setelah lahir sudah bisa berjalan tegak mengikuti
induknya. Insting atau naluri adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, yang
diperoleh bukan melalui proses belajar.
Pada usia bayi, manusia sudah menjalin hubungan terutama dengan ayah dan
ibu, dalam bentuk gerakan, senyuman, dan kata-kata. Pada usia 4 tahun, ia mulai
berhubungan dengan teman- teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada
usia-usia selanjutnya, ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan
lingkungan yang semakin luas. Manusia hidup dalam lingkungan sosialnya. Ia dalam
menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia
lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia
lainnya. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak
dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk
kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal
ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu
lainnya.
Berdasarkan proses diatas, manusia lahir dengan keterbatasan, dan secara
naluriah manusia membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir
dipelihara dan dibesarkan dalam sesuatu masyarakat terkecil, yaitu keluarga.
Keluarga terbentuk karena adanya pergaulan antar anggota sehingga dapat dikatakan
bahwa berkeluarga merupakakan kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan
orang lain atau hidup dalam kelompoknya.
Cooley berpendapat, ia memberi nama looking-glass self untuk melihat bahwa
seseorang dipengaruhi oleh orang lain. Nama demikian diberikan olehnya karena
melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang
sedang bercermin; kalau cermin memantau apa yang ada didepannya, maka menurut
Cooley diri seseorang memantau apa yang di rasakannya sebagai tanggapan masyarakat
terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap:
-
Tahap
pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain
terhadapnya.
-
Tahap
kedua, seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap
penampilannya.
-
Tahap
ketiga, seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai
penilaian orang lain terhadap itu.
Untuk memahami pendapat Cooley disini dapat disajikan suatu contoh. Seorang
siswa yang cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya, 40 atau 50) dalam
ujian-ujian semesternya. Misalnya para guru yang ada di sekolah menganggapnya
bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dinilai bodoh maka ia kurang dihargai
guru-gurunya. Karena kurang dihargai siswa, siswa tersebut menjadi murung. Jadi
disini perasaan diri sendiri seseorang merupakan pencerminan dari penilaian
orang lain (looking-glass self). Dalam kasus tersebut diatas, pelecehan oleh
guru ini ada dalam benak si siswa dan memengaruhi pandangannya mengenai dirinya
sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para guru memang berperasaan
demikian terhadapnya.
Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat yunani kuno menyatakan dalam
ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu
sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena
sifatnya yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai
makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu (perseorangan) mempunyai
kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan
meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat
mencapai segala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain.
Salah satu peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George Herbert
Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Socienty (1972),
Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap melalui beberapa
tahap-tahap Play Stage, tahap Game Stage, dan tahap Generalized Other.
Menurut mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari
peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses
dimana didalamnya terjadi pengambilan peranan yang harus dijalankannya serta
peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada
dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Menurut
Mead tahap-tahapan itu adalah:
1. Play Stage, seseorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang
yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan oleh orang
tuanya atau peranan orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
2. Game Stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus
dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankannya
oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
3. Generalized Other, pada tahap awal sosialisasi, interaksi seorang anak
biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain biasanya anggota keluarga,
terutama ayah dan ibu. Oleh Mead orang-orang yang penting dalam proses
sosialisasi ini dinamakan significant other. Pada tahap ketiga sosialisasi
seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang
lain dalam masyarakat mampu mengambil peranan Generalized Other. Ia telah mampu
berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami
peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena
beberapa alasan sebagai berikut:
a. Manusia tunduk pada aturan,
norma sosial.
b. Perilaku manusia mengharapkan
suatu penilaian dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan
untuk berinteraksi dengan orang lain.
d. Potensi manusia akan
berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
Peran dan Status
Status sosial adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok masyarakat
(meliputi keseluruhan posisi sosial yang
terdapat dalam kelompok masyarakat) sedangkan Peran sosial adalah seperangkat
harapan terhadap seseorang yang menempati suatu posisi/status sosial.
2.2 Pembahasan
Pengaruh Paradoks Manusia Terhadap Perkembangan
Individu
Paradoks manusia yang dimaksud adalah dari uraian teori di atas mengatakan
bahwa manusia sebagai individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini
menimbulkan paradoks karena berarti manusia adalah makhluk sosial, tapi di
waktu bersamaan dia juga bisa sangat individual. Bisa juga dikatakan bahwa manusia
adalah makhluk tertutup (yang bisa diketahui hanya dirinya sendiri), tapi juga
adalah makhluk terbuka (berupaya mengetahui orang lain, alam semesta, dan
Tuhan).
Terkait dengan perkembangan individu penulis memilih pandangan konvergensi
yang menyatakan bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh faktor diri
individu dan lingkungan. Karena hal ini sesuai dengan uraian paradoks manusia
yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial.
Perkembangan individu tidak hanya bergantung terhadap pribadi masing-masing saja (seperti pandangan nativistik) atau
bergantung terhadap lingkungan sekitar ( seperti pandangan empiristik).
Jika dilihat dari mentalitas manusia Indonesia, maka tentu saja pengaruhnya
besar. Melihat mentalitas manusia Indonesia terutama masyarakat perkotaan yang
terbuka terhadap hal-hal baru. Sehingga dengan semakin seringnya masyarakat
indonesia bersosialisasi maka akan berdampak besar terhadap perkembangan dirinya.
Mentalitas Masyarakat Kota dan Desa
Mentalitas masyarakat desa adalah ciri mentalitas asli indonesia atau biasa
juga disebut mentalitas petani sedangkan mentalitas masyarakat kota adalah
mentalitas yang terbentuk akibat pengaruh pemerintahan penjajah yang menduduki
kota-kota di indonesia. Mentalitas ini pada awalnya didapat sejak lahir yaitu
melalui orang tua. Apabila orang tuanya memiliki mentalitas petani maka anaknya
pun demikian dan juga sebaliknya. Namun, seiring berkembang sosialisasi dari primer
menjadi sekunder maka, mentalitas juga dapat terbentuk dari lingkungan
masyarakatnya.
Demikian juga dengan peran dan status yang disandangnya. Apabila seorang
anak lahir dikalangan orang tua yang berprofesi sebagai guru maka akan memiliki
mental yang berbeda dengan anak yang lahir dikalangan orang tua yang berprofesi
sebagai ustad.
Indonesia pernah dijajah oleh negara lain. Pemerintahan penjajah pada kota
inilah yang mempengaruhi terbentuknya mentalitas masyarakat kota atau priyayi.
Hal ini terlihat dari mentalitas masyarakat perkotaan yang berorientasi
terhadap kedudukan dan kekuasaan serta kebiasaannya yang taat, patuh dan
mengabdi kepada atasan. Dari bukti-bukti diatas dapat dikatakan bahwa
mentalitas ini lahir akibat pengaruh pemerintahan penjajah yang langsung dan
mantap.
Untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan dunia internasional kita
harus melakukan sedikit perbaikan terhadap mentalitas masyarakat kota dan desa.
Sebaiknya kita membuang pandangan yang kurang baik dari kedua mentalitas dan
mengambil yang baik-baik saja. Contoh pandangan mentalitas masyarakat desa yang
berorientasi pada hari ini saja. Hal ini tidak baik karena untuk pembangunan
dibutuhkan perencanaan yang matang oleh karena itu sebaiknya kita berorientasi
pada masa depan. Namun, contoh yang dapat kita teladani dari mentalitas
masyarakat desa adalah pandangannya yang menganggap bahwa hidup itu buruk dan
kita harus berikhtiar untuk mengubahnya menjadi baik. Hal ini cocok untuk
pembangunan karena manusia memang harus berikhtiar untuk dapat meraih
kesuksesan.
Sedangkan untuk mentalitas masyarakat kota yang kita harus hindari adalah
pangan yang berorientasi kepada kedudukan. Karena apabila ia telah mendapat
kedudukan atau jabatan maka ambisinya untuk sukses menjadi hilang dan ia akan
menjadi orang yang haus akan kekuasaan atau “Gila Jabatan”.
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak sehingga mengalami
ledakan penduduk atau sering disebut dengan over population tetapi dengan
jumlah penduduk yang banyak tersebut tetap saja masih terdapat pulau-pulau yang
kosong, hal tersebut disebabkan karena persebaran pendudukan yang kurang
merata.
Dengan adanya persebaran penduduk yang tidak merata berimbas pada kualitas
SDM yang kurang baik atau bahkan bisa dikatakan kurang pintar dalam menghadapi
kehidupan yang sedang dialami bahkan yang akan datang pun akan terkesan
tertinggal dengan bangsa yang lainnya.
Kualitas SDM yang rendah tersebut dapat terlihat pada sikap mental bangsa
Indonesia yang masih percaya pada hal-hal yang bersifat takhayul dan mistis,
misalnya saja kasus ponari. Selain itu perilaku mental masyarakat Indonesia pun
semakin buruk, misalnya dengan makin maraknya kasus korupsi dikalangan para
pejabat, meningkatnya kasus bunuh diri, guru yang menjual narkoba pada muridnya,
dan wakil rakyat yang tidak mencerminkan sikap sebagai seorang wakil rakyat
dengan menjadi pengedar narkoba.
Latar belakang terjadinya penurunan dalam sikap masyarakat Indonesia
terjadi karena kehidupan masyarakat Indonesia yang terus berkembang , porsi kebutuhan
manusia yang disediakan alam nilainya akan semakin kecil di satu sisi manusia
merupakan makhluk yang menolak keterbatasan akan dirinya dan keterbatasan alam
lingkungannya. Sehingga dengan akal budinya manusia berusaha mengimbangi
pertumbuhan kehidupan dengan segala kebutuhannya dengan membudayakan sumber
daya lingkungan dalam mengatasi hal itu tak jarang menimbulkan konfrontasi
dengan kenyataan yang terbatas dalam dirinya dan alam lingkungannya.
Jadi, supaya dapat mengubah mentalitas masyarakat kota dan desa sehingga
dapat mengatasi arus globalisasi dan persaingan di dunia internasional adalah
dengan meningkatkan kualitas SDM-nya terlebih dahulu dengan cara mengatasi
masalah ledakan penduduk yang ada di indonesia atau setidaknya memeratakan persebaran
penduduk di indonesia. Pembangunan jangan berfokus hanya pada kota-kota besar
tapi juga pada kota-kota lainnya. Sehingga, harapan kita bersama untuk membuat
indonesia menjadi negara maju dapat tercapai.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami selaku penulis dapat menyimpulkan bahwa Individu
bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi,
melainkan sebagi kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perseorangan. Tanpa
bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak.
Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi
atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Manusia sebagai individu dan makhluk sosial menimbulkan paradoks yang
mempengaruhi perkembangan individu berdasarkan paham konvergensi. Sehingga
apabila dilihat dari konsep mentalitas maka pengaruh yang ditimbulkan dari hal
tersebut cukup besar. Peran dan status yang dimiliki oleh manusia mempengaruhi
pembentukan mental sesuai dengan peran dan status yang disandangnya.
Ciri mental asli masyarakat indonesia adalah mentalitas masyarakat desa
atau petani yang sudah berkembang berabad-abad lamanya berkembang sejajar
dengan perkembangan kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia di daerah-daerah khusus
di wilayah Negara Indonesia. Yang digolongkan manusia Indonesia asli menurut
Koentjaraningrat yaitu golongan petani yang merupakan golongan terbesar
penduduk Indonesia. Golongan ini bermukim di daerah pedesaan dengan system
nilai social budaya yang telah mendalam berabad-abad (terutama di pulau Jawa)
mentalis petani ini masih tercermin pada penduduk kota yang belum dapat
melepaskan dari pengaruh mentalitas petani.
Ciri mental yang berkembang sejak zaman penjajahan adalah mentalitas masyarakat
perkotaan. Golongan penduduk ini terdapat di kota yang pengaruh pemerintahan
penjajah secara langsung dan mantap mempengaruhinya. Ditunjang dengan pengaruh
keratin. Mentalitas ini sangat mendalam pada golongan pegawai pemerintah
penjajah (golongan priyai) disebut juga mentalitas priyai.
Untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan dunia internasional kita
harus melakukan sedikit perbaikan terhadap mentalitas masyarakat kota dan desa.
Sebaiknya kita membuang pandangan yang kurang baik dari kedua mentalitas dan
mengambil yang baik-baik saja.
supaya dapat mengubah mentalitas masyarakat kota dan desa sehingga dapat
mengatasi arus globalisasi dan persaingan di dunia internasional adalah dengan
meningkatkan kualitas SDM-nya terlebih dahulu dengan cara mengatasi masalah
ledakan penduduk yang ada di indonesia atau setidaknya memeratakan persebaran
penduduk di indonesia. Pembangunan jangan berfokus hanya pada kota-kota besar
tapi juga pada kota-kota lainnya. Sehingga, harapan kita bersama untuk membuat indonesia
menjadi negara maju dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly,
Dra. M.Si. dkk., 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana.
Horton, Paul,
1991. Sosiologi, Aminudin Ram (Alih Bahasa), Jakarta, Erlangga
Vickers, Adrian,
2005. A History of Modern Indonesia, Cambridge University Press
diakses 2 April
2014