Senin, 03 Maret 2014

Paradoks Manusia



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai makhluk individu manusia memiliki satu pribadi yang berbeda dengan manusia yang lain. Setiap manusia memiliki identitas dan karakteristik sendiri, sementara itu sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan orang lain. Hal ini pun ditegaskan oleh seorang ahli filsuf Yunani yang bernama Aristoteles. Menurutnya manusia adalah zoon politicon. Hal ini berarti manusia merupakan makhluk sosial atau homo socialis yang memiliki keinginan untuk bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Dengan demikian, manusia ditakdirkan untuk hidup bermasyarakat sehingga tanpa kehadiran orang lain, individu tersebut seolah-olah tidak mempunyai arti.
Sebagai makhluk sosial, manusia akan senantiasa menjalin hubungan dengan sesamanya untuk mencapai kebutuhan hidup. Misalnya untuk mendapat baju yang indah, seorang individu membutuhkan keahlian seorang penjahit. Untuk mendapatkan sepotong buah yang segar, individu membutuhkan penjual buah. Untuk mendapatkan beras, individu membutuhkan petani. Masih banyak sekali contoh yang lainnya. Di sini terlihat bahwa tanpa keberadaan orang lain manusia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dan keinginannya.
Sebagai makhluk sosial, manusia sering memperlihatkan sifat-sifat yang paradoks di masyarakat. Uraian mengenai paradoks manusia menggambarkan manusia sebagai individu dan manusia sebagai anggota masyarakat memberikan pengaruh pada perkembangan diri individu. Melalui konsep mentalitas kita dapat melihat seberapa besar pengaruhnya terhadap mentalitas yang dimiliki sebagian besar masyarakat Indonesia yaitu mentalitas masyarakat desa dan mentalitas masyarakat kota. Mentalitas manusia Indonesia dipengaruhi oleh lingkungan sosial disekitarnya serta status dan peran yang disandangnya
Fakta sejarah bahwa Indonesia pernah dijajah memberikan dampak gejolak sosial dan politik yang mempengaruhi mentalitas masyarakat Indonesia kala itu. Oleh karena itu, untuk menghadapi arus globalisasi dibutuhkan beberapa modifikasi terhadap mentalitas manusia Indonesia yang sudah tertanam cukup lama agar manusia dan masyarakat Indonesia dapat mengatasi segala tantangan dan persaingan di dunia internasional
1.2 Perumusan Masalah
                Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan perumusan masalah sebagai berikut :
1.       Seberapa besar pengaruh paradoks manusia terhadap perkembangan individu dilihat dari mentalitas manusia Indonesia ?
2.       Apakah mentalitas masyarakat kota dan desa dimiliki sejak lahir atau dibentuk oleh masyarakat ?
3.       Apakah status dan peran mempengaruhi pembentukan mentalitas masyarakat kota dan desa ?
4.       Jelaskan kondisi sosial budaya maupun politik yang memberi pengaruh pada terbentuknya mentalitas masyarakat kota dan desa ?
5.       Apa yang harus dilakukan terhadap mentalitas masyarakat kota dan desa agar menjadi kekuatan bagi manusia dan masyarakat Indonesia dalam mengahadapi persaingan di dunia internasional ?
BAB 2
ISI
2.1 Keranagka Teori
Manusia Sebagai Mahluk Individu
       Dalam bahasa Latin individu berasal dari kata individuum, artinya yang tak terbagi. Dalam bahasa Inggris individu berasal dari kata in dan divided. Kata in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan.
       Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.
       Bila seseorang hanya tinggal raga, fisik, atau jasmaninya saja, maka tidak dikatakan sebagai individu. Jadi pengertian manusia sebagai makhluk individu mengandung arti bahwa unsur yang ada dalam diri individu tidak terbagi, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jadi sebutan individu hanya tepat bagi manusia yang memiliki keutuhan jasmani dan rohaninya, keutuhan fisik dan psikisnya, keutuhan raga dan jiwanya.
       Setiap manusia memiliki keunikan atau ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Sekalipun orang itu terlahir secara kembar, mereka tidak ada yang memiliki ciri fisik dan psikis yang persis sama.
Walaupun secara umum manusia itu memiliki perangkat fisik yang sama, tetapi kalau perhatian kita tujukan pada hal yang lebih detail, maka akan terdapat perbedaan-perbedaan. Perbedaan itu terletak pada bentuk, ukuran, sifat, dan lain-lainnya. Contohnya: si Sule berbeda dengan si Ajis Gagap, karena di antara keduanya berbeda secara fisik, si Sule berambut panjang dan kurus, sedangkan si Ajis Gagap berambut pendek dan agak gemuk. Begitu pula dalam kumpulan atau kerumunan ribuan orang atau jutaan manusia, kita tetap dapat mengenali seseorang yang sudah kita kenal karena memiliki ciri fisik yang sudah kita kenal. Sebaliknya bila hal ini terjadi pada kerumunan atau kumpulan hewan atau binatang, sulit bagi kita untuk mengenali satu hewan di tengah ribuan hewan yang sejenis.
       Ciri seorang individu tidak hanya mudah dikenali lewat ciri fisik atau biologisnya. Sifat, karakter, perangai, atau gaya dan selera orang juga berbeda-beda. Lewat ciri-ciri fisik seseorang pertama kali mudah dikenali. Ada orang yang gemuk, kurus, atau langsing, ada yang kulitnya cokelat, hitam, atau putih, ada yang rambutnya lurus dan ikal. Dilihat dari sifat, perangai atau karakternya, ada orang yang periang, sabar, cerewet, atau lainnya.




Seorang individu adalah perpaduan antara:
-          Faktor genotipe (faktor yg dibawa sejak lahir, faktor keturunan). Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotipe).
-          Faktor fenotipe (lingkungan) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana seorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar.

       Karakteristik yang khas dari seseorang ini sering kita sebut dengan kepribadian. Menurut Nursyid Sumaatmadja, kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi biopsikofisikal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan.
       Setiap orang memiliki kepribadian yang membedakan dirinya dengan yang lain. Kepribadian seseorang itu dipengaruhi faktor bawaan (genotipe) dan faktor lingkungan (fenotipe) yang saling berinteraksi terus-menerus.
       Selain individu, kelompok sosial yang lebih besar, seperti keluarga, tetangga, dan masyarakat, memiliki ciri/karakter/kebiasaan yang berbeda-beda pula. Keluarga yang terbiasa dengan suasana yang demokratis dan religius, misalnya, berbeda dengan keluarga yang suasananya otoriter dan kurang religius. Begitu pula lingkungan tetangga yang familiar dan gotong royong, berbeda dengan yang kurang akrab dan individualis.
Perkembangan Individu
Sejak lahir sampai pada akhir hayatnya, manusia hidup ditengah-tengah kelompok sosial atau kesatuan sosial juga dalam situasi sosial yang merupakan bagian dari ruang lingkup suatu kelompok sosial. Kelompok sosial yang merupakan awal kehidupan manusia individu adalah keluarga. Dalam keluarga ada rasa saling tergantung diantara sesama manusia yang membentuk individu berkembang untuk beradaptasi dengan kehidupan dalam masyarakat. Hal ini menandakan bahwa manusia sebagai individu tidak mampu hidup sendiri, tetapi diperlukan keberadaan dalam suatu kelompok (masyarakat) sehingga individu merupakan makhluk sosial. Ini berarti antara individu dan kelompok terdapat hubungan timbal balik dan hubungan yang sangat erat yang merupakan hubungan fungsional.
Pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi pribadi yang khas tidak terjadi dalam waktu sekejap, melainkan terentang sebagai kesinambungan perkembangan sejak masa janin, bayi, anak , remaja, dewasa sampai tua. Istilah pertumbuhan lebih tertuju pada segi fisik atau biologis individu, sedangkan perkembangan tertuju pada segi mental psikologis individu.


Pertumbuhan dan perkembangan individu dipengaruhi beberapa faktor. Mengenai hal tersebut ada tiga pandangan, yaitu:
-          Pandangan nativistik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata ditentukan atas dasar faktor dari dalam individu sendiri, seperti bakat dan potensi, termasuk pula hubungan atau kemiripan dengan orang tuanya. Misalnya, jika ayahnya seniman maka sang anak akan menjadi seniman pula.
-          Pandangan empiristik menyatakan bahwa pertumbuhan individu semata-mata didasarkan atas faktor lingkungan. Lingkunganlah yang akan menentukan pertumbuhan seseorang. Pandangan ini bertolak belakang dengan pandangan nativistik.
-          Pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa pertumbuhan individu dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Bakat anak merupakan potensi yang harus disesuaikan dengan diciptakannya lingkungan yang baik sehingga ia bisa tumbuh secara optimal. Pandangan ini berupaya menggabungkan kedua pandangan sebelumnya.

Pada dasarnya, kegiatan atau aktivitas seseorang ditujukan untuk memenuhi kepentingan diri dan kebutuhan diri. Sebagai makhluk dengan kesatuan jiwa dan raga, maka aktivitas individu adalah untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan jiwa, rohani, atau psikologis, serta kebutuhan jasmani atau biologis. Pemenuhan kebutuhan tersebut adalah dalam rangka menjalani kebutuhannya.
Pandangan yang mengembangkan pemikiran bahwa manusia pada dasarnya adalah individu yang bebas dan merdeka adalah paham individualisme. Paham individualisme menekankan kekhususan, martabat, hak, dan kebebasan orang perorang. Manusia sebagai individu yang bebas dan merdeka tidak terikat apapun dengan masyarakat ataupun negara. Manusia bisa berkembang dan sejahtera hidupnya serta berlanjut apabila dapat bekerja secara bebas dan berbuat apa saja untuk memperbaiki dirinya sendiri.
Manusia Sebagai Mahluk Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial adalah manusia yang senantiasa hidup dengan manusia lain (masyarakatnya). Ia tidak dapat merealisasikan potensi hanya dengan dirinya sendiri. Manusia akan membutuhkan manusia lain untuk hal tersebut, termasuk dalam mencukupi kebutuhannya.
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Ketika manusia sebagai makhluk individu ternyata tidak mampu hidup sendiri. Manusia berbeda dengan hewan, manusia diberikan akal, sedangkan hewan di berikan insting untuk mempertahankan hidupnya. Insting yang di miliki manusia sangat terbatas, misalnya ketika bayi lahir ia hanya diberi insting untuk menangis, ketika lapar ia menangis, ketika pipis pun ia menangis. Untuk bisa berjalan manusia membutuhkan manusia lain. Sedangkan pada hewan, misalnya jerapah, beberapa menit setelah lahir sudah bisa berjalan tegak mengikuti induknya. Insting atau naluri adalah sesuatu yang dibawa sejak lahir, yang diperoleh bukan melalui proses belajar.
Pada usia bayi, manusia sudah menjalin hubungan terutama dengan ayah dan ibu, dalam bentuk gerakan, senyuman, dan kata-kata. Pada usia 4 tahun, ia mulai berhubungan dengan teman- teman sebaya dan melakukan kontak sosial. Pada usia-usia selanjutnya, ia terikat dengan norma-norma pergaulan dengan lingkungan yang semakin luas. Manusia hidup dalam lingkungan sosialnya. Ia dalam menjalani kehidupannya akan senantiasa bersama dan bergantung pada manusia lainnya. Manusia saling membutuhkan dan harus bersosialisasi dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya tidak dapat memenuhinya sendiri. Ia akan bergabung dengan manusia lain membentuk kelompok-kelompok dalam rangka pemenuhan kebutuhan dan tujuan hidup. Dalam hal ini, manusia sebagai individu memasuki kehidupan bersama dengan individu lainnya.
Berdasarkan proses diatas, manusia lahir dengan keterbatasan, dan secara naluriah manusia membutuhkan hidup dengan manusia lainnya. Manusia sejak lahir dipelihara dan dibesarkan dalam sesuatu masyarakat terkecil, yaitu keluarga. Keluarga terbentuk karena adanya pergaulan antar anggota sehingga dapat dikatakan bahwa berkeluarga merupakakan kebutuhan manusia. Esensinya, manusia memerlukan orang lain atau hidup dalam kelompoknya.
Cooley berpendapat, ia memberi nama looking-glass self untuk melihat bahwa seseorang dipengaruhi oleh orang lain. Nama demikian diberikan olehnya karena melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan perilaku orang yang sedang bercermin; kalau cermin memantau apa yang ada didepannya, maka menurut Cooley diri seseorang memantau apa yang di rasakannya sebagai tanggapan masyarakat terhadapnya.
Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap:
-          Tahap pertama, seseorang mempunyai persepsi mengenai pandangan orang lain terhadapnya.
-          Tahap kedua, seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya.
-          Tahap ketiga, seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadap itu.
Untuk memahami pendapat Cooley disini dapat disajikan suatu contoh. Seorang siswa yang cenderung memperoleh nilai-nilai rendah (misalnya, 40 atau 50) dalam ujian-ujian semesternya. Misalnya para guru yang ada di sekolah menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dinilai bodoh maka ia kurang dihargai guru-gurunya. Karena kurang dihargai siswa, siswa tersebut menjadi murung. Jadi disini perasaan diri sendiri seseorang merupakan pencerminan dari penilaian orang lain (looking-glass self). Dalam kasus tersebut diatas, pelecehan oleh guru ini ada dalam benak si siswa dan memengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri, terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para guru memang berperasaan demikian terhadapnya.
Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat yunani kuno menyatakan dalam ajarannya, bahwa manusia adalah zoon politicon artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk, pada dasarnya selalu ingin bergaul dalam masyarakat. Karena sifatnya yang ingin bergaul satu sama lain, maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk individu (perseorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Manusia lahir, hidup berkembang, dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Sebagai individu, manusia tidak dapat mencapai segala sesuatu yang diinginkan dengan mudah tanpa bantuan orang lain.
Salah satu peranan dikaitkan dengan sosialisasi oleh teori George Herbert Mead. Dalam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Socienty (1972), Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap melalui beberapa tahap-tahap Play Stage, tahap Game Stage, dan tahap Generalized Other.
Menurut mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peranan-peranan yang ada dalam masyarakat. Sosialisasi adalah suatu proses dimana didalamnya terjadi pengambilan peranan yang harus dijalankannya serta peranan yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peranan yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain. Menurut Mead tahap-tahapan itu adalah:
1. Play Stage, seseorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ia mulai menirukan peranan yang dijalankan oleh orang tuanya atau peranan orang dewasa lain dengan siapa ia sering berinteraksi.
2. Game Stage, seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankannya oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
3. Generalized Other, pada tahap awal sosialisasi, interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain biasanya anggota keluarga, terutama ayah dan ibu. Oleh Mead orang-orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant other. Pada tahap ketiga sosialisasi seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil peranan Generalized Other. Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang lain dengan siapa ia berinteraksi.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena beberapa alasan sebagai berikut:
a.       Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b.      Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.
c.       Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain.
d.      Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.

Peran dan Status
Status sosial adalah kedudukan sosial seseorang dalam kelompok masyarakat (meliputi keseluruhan  posisi sosial yang terdapat dalam kelompok masyarakat) sedangkan Peran sosial adalah seperangkat harapan terhadap seseorang yang menempati suatu posisi/status sosial.


2.2 Pembahasan
Pengaruh Paradoks Manusia Terhadap Perkembangan Individu
Paradoks manusia yang dimaksud adalah dari uraian teori di atas mengatakan bahwa manusia sebagai individu dan manusia sebagai makhluk sosial. Hal ini menimbulkan paradoks karena berarti manusia adalah makhluk sosial, tapi di waktu bersamaan dia juga bisa sangat individual. Bisa juga dikatakan bahwa manusia adalah makhluk tertutup (yang bisa diketahui hanya dirinya sendiri), tapi juga adalah makhluk terbuka (berupaya mengetahui orang lain, alam semesta, dan Tuhan).
Terkait dengan perkembangan individu penulis memilih pandangan konvergensi yang menyatakan bahwa perkembangan individu dipengaruhi oleh faktor diri individu dan lingkungan. Karena hal ini sesuai dengan uraian paradoks manusia yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial. Perkembangan individu tidak hanya bergantung terhadap pribadi masing-masing  saja (seperti pandangan nativistik) atau bergantung terhadap lingkungan sekitar ( seperti pandangan empiristik).
Jika dilihat dari mentalitas manusia Indonesia, maka tentu saja pengaruhnya besar. Melihat mentalitas manusia Indonesia terutama masyarakat perkotaan yang terbuka terhadap hal-hal baru. Sehingga dengan semakin seringnya masyarakat indonesia bersosialisasi maka akan berdampak besar terhadap perkembangan dirinya.

Mentalitas Masyarakat Kota dan Desa
Mentalitas masyarakat desa adalah ciri mentalitas asli indonesia atau biasa juga disebut mentalitas petani sedangkan mentalitas masyarakat kota adalah mentalitas yang terbentuk akibat pengaruh pemerintahan penjajah yang menduduki kota-kota di indonesia. Mentalitas ini pada awalnya didapat sejak lahir yaitu melalui orang tua. Apabila orang tuanya memiliki mentalitas petani maka anaknya pun demikian dan juga sebaliknya. Namun, seiring berkembang sosialisasi dari primer menjadi sekunder maka, mentalitas juga dapat terbentuk dari lingkungan masyarakatnya.
Demikian juga dengan peran dan status yang disandangnya. Apabila seorang anak lahir dikalangan orang tua yang berprofesi sebagai guru maka akan memiliki mental yang berbeda dengan anak yang lahir dikalangan orang tua yang berprofesi sebagai ustad.
Indonesia pernah dijajah oleh negara lain. Pemerintahan penjajah pada kota inilah yang mempengaruhi terbentuknya mentalitas masyarakat kota atau priyayi. Hal ini terlihat dari mentalitas masyarakat perkotaan yang berorientasi terhadap kedudukan dan kekuasaan serta kebiasaannya yang taat, patuh dan mengabdi kepada atasan. Dari bukti-bukti diatas dapat dikatakan bahwa mentalitas ini lahir akibat pengaruh pemerintahan penjajah yang langsung dan mantap.
Untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan dunia internasional kita harus melakukan sedikit perbaikan terhadap mentalitas masyarakat kota dan desa. Sebaiknya kita membuang pandangan yang kurang baik dari kedua mentalitas dan mengambil yang baik-baik saja. Contoh pandangan mentalitas masyarakat desa yang berorientasi pada hari ini saja. Hal ini tidak baik karena untuk pembangunan dibutuhkan perencanaan yang matang oleh karena itu sebaiknya kita berorientasi pada masa depan. Namun, contoh yang dapat kita teladani dari mentalitas masyarakat desa adalah pandangannya yang menganggap bahwa hidup itu buruk dan kita harus berikhtiar untuk mengubahnya menjadi baik. Hal ini cocok untuk pembangunan karena manusia memang harus berikhtiar untuk dapat meraih kesuksesan.
Sedangkan untuk mentalitas masyarakat kota yang kita harus hindari adalah pangan yang berorientasi kepada kedudukan. Karena apabila ia telah mendapat kedudukan atau jabatan maka ambisinya untuk sukses menjadi hilang dan ia akan menjadi orang yang haus akan kekuasaan atau “Gila Jabatan”. 
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak sehingga mengalami ledakan penduduk atau sering disebut dengan over population tetapi dengan jumlah penduduk yang banyak tersebut tetap saja masih terdapat pulau-pulau yang kosong, hal tersebut disebabkan karena persebaran pendudukan yang kurang merata.
Dengan adanya persebaran penduduk yang tidak merata berimbas pada kualitas SDM yang kurang baik atau bahkan bisa dikatakan kurang pintar dalam menghadapi kehidupan yang sedang dialami bahkan yang akan datang pun akan terkesan tertinggal dengan bangsa yang lainnya.
Kualitas SDM yang rendah tersebut dapat terlihat pada sikap mental bangsa Indonesia yang masih percaya pada hal-hal yang bersifat takhayul dan mistis, misalnya saja kasus ponari. Selain itu perilaku mental masyarakat Indonesia pun semakin buruk, misalnya dengan makin maraknya kasus korupsi dikalangan para pejabat, meningkatnya kasus bunuh diri, guru yang menjual narkoba pada muridnya, dan wakil rakyat yang tidak mencerminkan sikap sebagai seorang wakil rakyat dengan menjadi pengedar narkoba.
Latar belakang terjadinya penurunan dalam sikap masyarakat Indonesia terjadi karena kehidupan masyarakat Indonesia yang terus berkembang , porsi kebutuhan manusia yang disediakan alam nilainya akan semakin kecil di satu sisi manusia merupakan makhluk yang menolak keterbatasan akan dirinya dan keterbatasan alam lingkungannya. Sehingga dengan akal budinya manusia berusaha mengimbangi pertumbuhan kehidupan dengan segala kebutuhannya dengan membudayakan sumber daya lingkungan dalam mengatasi hal itu tak jarang menimbulkan konfrontasi dengan kenyataan yang terbatas dalam dirinya dan alam lingkungannya.
Jadi, supaya dapat mengubah mentalitas masyarakat kota dan desa sehingga dapat mengatasi arus globalisasi dan persaingan di dunia internasional adalah dengan meningkatkan kualitas SDM-nya terlebih dahulu dengan cara mengatasi masalah ledakan penduduk yang ada di indonesia atau setidaknya memeratakan persebaran penduduk di indonesia. Pembangunan jangan berfokus hanya pada kota-kota besar tapi juga pada kota-kota lainnya. Sehingga, harapan kita bersama untuk membuat indonesia menjadi negara maju dapat tercapai.







BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, kami selaku penulis dapat menyimpulkan bahwa Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tidak dapat dibagi, melainkan sebagi kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perseorangan. Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Manusia sebagai individu dan makhluk sosial menimbulkan paradoks yang mempengaruhi perkembangan individu berdasarkan paham konvergensi. Sehingga apabila dilihat dari konsep mentalitas maka pengaruh yang ditimbulkan dari hal tersebut cukup besar. Peran dan status yang dimiliki oleh manusia mempengaruhi pembentukan mental sesuai dengan peran dan status yang disandangnya.
Ciri mental asli masyarakat indonesia adalah mentalitas masyarakat desa atau petani yang sudah berkembang berabad-abad lamanya berkembang sejajar dengan perkembangan kebudayaan suku-suku bangsa Indonesia di daerah-daerah khusus di wilayah Negara Indonesia. Yang digolongkan manusia Indonesia asli menurut Koentjaraningrat yaitu golongan petani yang merupakan golongan terbesar penduduk Indonesia. Golongan ini bermukim di daerah pedesaan dengan system nilai social budaya yang telah mendalam berabad-abad (terutama di pulau Jawa) mentalis petani ini masih tercermin pada penduduk kota yang belum dapat melepaskan dari pengaruh mentalitas petani.
Ciri mental yang berkembang sejak zaman penjajahan adalah mentalitas masyarakat perkotaan. Golongan penduduk ini terdapat di kota yang pengaruh pemerintahan penjajah secara langsung dan mantap mempengaruhinya. Ditunjang dengan pengaruh keratin. Mentalitas ini sangat mendalam pada golongan pegawai pemerintah penjajah (golongan priyai) disebut juga mentalitas priyai.
Untuk menghadapi arus globalisasi dan persaingan dunia internasional kita harus melakukan sedikit perbaikan terhadap mentalitas masyarakat kota dan desa. Sebaiknya kita membuang pandangan yang kurang baik dari kedua mentalitas dan mengambil yang baik-baik saja.
supaya dapat mengubah mentalitas masyarakat kota dan desa sehingga dapat mengatasi arus globalisasi dan persaingan di dunia internasional adalah dengan meningkatkan kualitas SDM-nya terlebih dahulu dengan cara mengatasi masalah ledakan penduduk yang ada di indonesia atau setidaknya memeratakan persebaran penduduk di indonesia. Pembangunan jangan berfokus hanya pada kota-kota besar tapi juga pada kota-kota lainnya. Sehingga, harapan kita bersama untuk membuat indonesia menjadi negara maju dapat tercapai.





DAFTAR PUSTAKA
Setiadi, Elly, Dra. M.Si. dkk., 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Kencana.
Horton, Paul, 1991. Sosiologi, Aminudin Ram (Alih Bahasa), Jakarta, Erlangga
Vickers, Adrian, 2005. A History of Modern Indonesia, Cambridge University Press
diakses 2 April 2014